Etika Bermedia Sosial dalam Sinaran Al Quran dan Sunnah (Bagian 2)
Oleh: Dr. Jeje Zaenudin, M.Ag.
Bekasi. 4 April 2021. Jika Quran dengan tegas mengatakan bahwa kebanyakan percakapan dan obrolan manusia itu sia-sia jika tidak mengandung ajakan sedekah, makruf , dan mendamaikan perselisihan. Maka dapat dipahami bahwa yang seharusnya kita kembangkan dalam bermedsos adalah materi -materi kebenaran yang bermuatan sedekah ilmu dan informasi. Lebih hebat lagi jika muatannya itu gagasan yang mendorong berkembang biaknya kebaikan. Demikian juga pentingnya menyebarluaskan perdamaian di saat banyak orang senang menebar berita provokasi dan permusuhan. Bahkan Rasulullah sampai memberi rukhshah bahwa “berbohong” untuk menciptakan perdamaian tidak dikatan berdusta. “Bukanlah pendusta orang (yang berdusta) untuk mendamaikan di antara manusia.” Beliau juga mengingatkan bahwa sekiranya seorang tidak bisa berkata yang bermanfaat dan baik, maka diam itulah kebaikan. Imam Ghazali mengingatkan, “Sekiranya orang-orang yang tidak mengerti persoalan itu diam, niscaya perselisihan itu berkurang”. Jadi makin banyak orang yang ikut menanggapi dan mengomentari permasalahan yang dia sendiri tidak benar-benar memahami, akan menambah persoalan itu makin menjadi rumit. Kenapa demikian, sebab inti masalah tersebut telah kabur diselimuti narasi-narasi dan interpretasi yang berdasar emosi.
Lalu bagaimanakah seharusnya kita menerima, memahami, menilai, hingga menyebarluaskan suatu berita di media sosial menurut Quran dan Sunnah.
Panduan Quran dan Sunnah dalam menerima dan menguji suatu informasi dapat disederhanakan kepada beberapa kaidah dasar.
Pertama. Kaidah ilmiah. Artinya bahwa kita harus melihat suatu informasi dari aspek keilmuannya. Jangan kita menerima informasi dan opini dari orang yang bukan ahlinya. Kalau tentang ilmu syariat, sumbernya harus ulama dan cendekiawan yang pakar agama. Kalau bidang politik ya ahli politik. Jika kesehatan ya ahli medis dan kedokteran, dan seterusnya. Janganlah menyerahkan ilmu pada yang bukan pakarnya, karena ilmu itu amanah. Akan binasa jika yang bukan ahlinya mengambil alih amanah itu.
Dengan kaidah ilmiah ini juga kita tidak boleh menerima begitu saja suatu informasi yang bukan kapasitas ilmu kita. Tetapi hendaklah bertanya dulu kepada yang ahli di bidang masalah tersebut supaya kita tidak tersesat dan tidak menyesatkan orang lain. Sebagaimana pesan Quran, “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu..”
kedua. Kaidah keadilan, atau al ‘adalah. Artinya kita harus memahami dan menyikapi setiap informasi secara adil dan seimbang. Jika informasi itu ada dari dua pihak yang berbeda, maka kedua informasi itu harus kita sandingkan lalu komparasikan. Jika bersifat tuduhan atau penafsiran, maka harus didengar juga orang yang tertuduh dan tafsiran yang lain. Jangan hanya informasi itu datang dari pihak yang kita sukai, atau kelompok kita, atau sesuai dengan hawa nafsu kita, kita langsung terima dan kita anggap benar. Sedang kalau datang dari pihak lain kita langsung tolak dan kita fonis bohong. Dalam konteks ini sangat keras peringatan Al Quran, “Wahai orang beriman, jadilah kamu penegak kesaksian yang adil. Jangan karena kebencian mu kepada suatu kaum mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adil lah kamu, karena adil itu lebih dekat pada takwa”. (Al Maidah : 8).
Betapa dahsyatnya Quran. Menegur umatnya sendiri agar berlaku adil dan objektif dalam segala hal, termasuk kepada musuh yang kita benci sekalipun. Memang sering kali kalau sudah terbawa kebencian, maka apapun yang dilakukan orang yang kita benci itu pasti dinilai salah dan bohong. Sebaliknya kalau dari pihak yang kita dukung atau kita cintai, pasti semua informasikan disambut dengan penuh sebagai kebenaran. Pada posisi itulah kita sering lupa bahwa manusia itu punya nurani kebenaran, punya pikiran positif, dan punya hak mengoreksi dirinya sendiri. Yang salah terus hanyalah syetan, yang benar terus hanya malaikat. Keburukan dan kekeliruan dari siapapun meskipun dari orang yang kita banggakan harus kita tolak. Kebenaran dari siapapun datangnya, meskipun dari orang yang kita benci harus kita terima. Itulah sikap adil yang diajarkan Islam.
ketiga, yaitu kaidah tabayyun, klarifikasi. Maksudnya bahwa jika suatu informasi penting datang kepada kita harus dipastikan dulu kebenarannya itu sebelum kita terima dan kita sebarkan atau kita putuskan sikap kita. Kepastian itu melalui penelusuran sumbernya, apakah benar dan terpercaya; konten atau isinya benar tidak diselewengkan; dan interpretasinya atau framing opininya benar atau diselewengkan. Setelah itu semua pasti, boleh kita mengambil sikap dan keputusan yang harus dilakukan. Jika tidak, maka betapa banyak kerugian dan penyesalan yang akan terjadi akibat kecerobohan kita.
Dalil dari kaidah ketiga ini sangat tegas di dalam Quran, “Wahai orang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa berita maka periksalah terlebih dahulu. Jangan sampai kalian menimpakan keputusan kepada suatu kaum karena kejahilan kalian, lalu kalian menyesali tindakan kalian sendiri”. (Al Hujurat: 6).
Sangat tegas bimbingan ayat di atas kepada kita. Bahwa kecerobohan dalam mengambil kesimpulan atas suatu informasi akan berbuah penyesalan di kemudian hari.
keempat, yaitu kaidah al manfa’ah. Artinya menerima dan menyebarkan suatu informasi itu menggunakan ukuran kemanfaatan. Tidak setiap berita meskipun benar itu bermanfaat disebarkan. Disinilah perlunya memilah dan memilih mana informasi yang berguna untuk disebarkan lagi mana yang tidak berguna maka cukup disimpan saja. Rasulullah mengingatkan dalam hadits riwayat Imam Muslim bahwa cukup seseorang itu jadi berdosa karena selalu menyampaikan apa yang ia dengar”.
Jadi dengarlah dan ketahuilah terlebih dahulu baik-baik sebelum disampaikan, tetapi jangan setiap yang didengar dan diketahui disampaikan lagi. Orang yang menyampaikan apa yang tidak diketahuinya terjerumus pada dusta dan jahil, orang yang menyampaikan segala yang diketahuinya tanpa memilah tempat dan memilih situasi adalah adalah yang tidak bijak. Ali Bin Abu Thalib menasihati, “Bicaralah kepada manusia sesuai tingkat intelektualnya”. Setiap tempat dan situasi ada perkataan dan informasi yang tepat. Likulli maqam maqaal wa likulli maqaal maqam. Begitu pepatah Arab mengatakan.
Oleh sebab itu banyak pengetahuan dan informasi penting yang dimiliki orang-orang alim tetapi mereka tidak menyampaikannya di medsos karena bukan tempatnya dan belum tentu semua orang akan sampai kemampuan memahaminya dengan benar. Sebab itulah ilmu yang sebenarnya harus dijemput dari ahlinya pada tempat yang selayaknya. “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui”. Kenapa harus ditanyakan bukankah kewajiban orang berilmu untuk menyampaikan? Sebab tidak semua ilmu yang diketahui orang alim layak diberitahukan kepada semua orang.
Wallahu A’lam.