PARADOKS DAKWAH,
Sebuah Auto Kritik Menuju Transformasi Dakwah yang Mencerahkan

(Dr. Jeje Zaenudin / Ketua STAI PERSIS Jakarta)

Pembuka
“Senantiasa ada hikmah dibalik musibah”, adalah kata mutiara yang sering diulang dalam menghibur diri pada saat ditimpa situasi yang tidak kita inginkan. Setidaknya itulah yang saya rasakan pada saat menjalani ibadah shaum Ramadhan hingga hari raya Iedul Fitri tahun ini yang berbarengan dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah akibat pandemi covid-19 yang telah merenggut ribuan jiwa bangsa Indonesia dan ratusan ribu jiwa di dunia.

Bagi siapa saja yang sudah terbiasa dengan tugas dan pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi dan beraktivitas yang berhubungan dengan interaksi sosial yang luas, seperti berkiprah di dunia dakwah, pendidikan, publik relations, dan sebagainya, pembatasan sosial itu bisa dirasakan seperti penjara tanpa jeruji yang melumpuhkan kreativitas juga perekonomian.

Namun ketika kita merubah sudut pandang, ternyata dalam pembatasan sosial untuk meminimalisir tersebarnya covid-19, banyak sekali manfaat yang lebih besar dibanding dengan hilangnya kesempatan untuk bermobilitas dengan aktivitas yang sudah kita agendakan sebelumnya. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Biasanya sedikit sekali waktu luang yang dimiliki untuk membaca, menelaah, dan mengkritisi berbagai persoalan dakwah, pendidikan, dan isu-isu keumatan secara lebih tenang dan mendalam untuk menemukan gagasan-gagasan maupun inspirasi produktif dan solutif.

Dengan dua bulan lebih adanya pembatasan aktivitas sosial dan dalam suasana puasa Ramadhan, justru memberi karunia kesempatan yang tidak terduga sebelumnya. Adanya waktu mmebuka kembali buku-buku penting; Ada banyak diskusi inspiratif bersama para pakar dan tokoh nasional bahkan lintas negara dari berbagai disiplin ilmu yang bisa diikuti dengan tidak menghabiskan waktu harus bermacet ria di perjalanan. Tetapi cukup bermodalkan jaringan internet yang kuat untuk terlibat seminar dan diskusi penting via zoom meeting atau lainnya.

Salah satu gagasan dari berbagai gagasan yang saya catatkan sebagai dokumentasi selama Ramadhan di musim pandemi tahun ini adalah apa yang akan saya tuturkan di sini dalam rangka berbagi inspirasi dengan para aktivis gerakan dakwah yang lain. Bagi saya secara khusus, tema ini adalah sebagai pra wacana dalam upaya merumuskan pemikiran di bidang dakwah bagi kampus yang baru saja saya pimpin, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) PERSIS Jakarta, yang salah satu Program Studinya adalah Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) selain prodi Hukum Ekonomi Syariah dan Pendidikan Agama Islam.

Asumsi-asumsi yang saya bangun dari berbagai hasil penelitian para peneliti maupun observasi dan pengalaman lapangan sebagai seorang dosen, penggerak dakwah, pemimpin ormas, dan pemimpin lembaga pendidikan yang berbasis dakwah, saya menyaksikan adanya kontradiksi-kontradiksi dalam dunia dakwah kita. Karena itulah saya paparkan gagasan pemikiran dalam tulisan lepas ini dengan judul “Paradoks Dakwah, Sebuah Auto Kritik Menuju Transformasi Dakwah yang Mencerahkan” yang diawali dengan elaborasi aspek-aspek kontradiktif dalam dakwah dan ditutup dengan gagasan solusinya. Dengan harapan semoga memberi manfaat terutama bagi pengembangan ilmu dakwah di STAI PERSIS Jakarta yang baru berdiri.

Apa itu Paradoks Dakwah?
Cambridge English Dictionary memberi defini “paradox” sebagai, “a situation or statement that seems impossible or is difficult to understand because it contains two opposite facts or characteristics”. Dan mensinonimkan dengan kata “Contradiction”.
Sedang dalam bahasa Arab, paradoks disepadankan dengan kata, “al mufâraqah” dan “al tanâqudl”. Wikipedia Arab mendefinisikan “al Mufâraqah” atau paradoks sebagai:

المفارقة بالإنجليزية 🙁 Paradox)‏ هي بيان بالرغم من أن التعليل يبدو ظاهرياً مبني على مقدمات وحجج منطقية، إلا أنه يؤدي إلى تناقض البيان نفسه أو يؤدي إلى استنتاج عبارة غير منطقية. أو أمر مُحير في دائرة مغلقة، من الممكن أن تكون المفارقة عبارة صحيحة أو مجموعة من العبارات التي تتضمن معنى التناقض أو النفي …. يمكن أن تعبر المفارقة عن تناقض خارجي عندما تناقض معرفة أو فرضية سابقة، أو تناقض داخلي عندما تحتوي نفسها على شيء وعكسه.
“Paradox adalah sebuah pernyataan, meskipun penjelasan tampak seolah-olah didasarkan pada premis dan argumen logis, tetapi itu mengarah pada kontradiksi pernyataan itu sendiri atau mengarah pada kesimpulan dari pernyataan yang tidak rasional. Atau masalah yang membingungkan dalam lingkaran tertutup, paradoks dapat berupa frasa yang sahih atau serangkaian frasa yang memasukkan makna kontradiksi atau negasi […] Paradoks dapat mengekspresikan paradoks eksternal ketika bertentangan dengan pengetahuan atau hipotesis sebelumnya , atau paradoks internal ketika itu sendiri mengandung dan membalikkan sesuatu.”

Jadi ketika kata paradoks disandarkan kepada kata dakwah, maka dapat berarti dakwah yang kontradiktif atau kontadiksi-kontradiksi dakwah. Yaitu pertentangan-pertentangan atau “pertolakbelakangan” yang terjadi di dalam pelaksanaan dakwah. Pertentangan itu bisa pada tataran pemikiran, pernyataan-pernyataan, argumen-argumen, dan logika-logika yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya, ataupun kontradiksi pada tataran aplikasi dan implementasinya. Sedang dakwah yang dimaksud di sini adalah dakwah Islamiyah. Yaitu serangkaian usaha secara sadar dan sistematis dalam menyeru, mengajak, dan menuntun manusia untuk beriman kepada Allah dan mengamalkan syariat agama-Nya.

Memangnya adakah paradoks dalam perdakwahan kita saat ini? Tentu saja dengan tegas kita katakan bahwa dalam tataran dalil-dalil ajaran Islam tidak ada yang paradoks atau kontradiksi sebagaimana dengan tegas dinyatakan oleh Al-Quran itu sendiri. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (AN Nisa : 82). Paradoks dan kontradiksi yang terjadi adalah dalam tataran pemahaman dan statement kita sendiri sebagai para dai. Demikian juga pertolak-belakangan antara nilai-nilai ajaran Islam yang kita yakini dan kita dakwahkan dengan fakta atau realitas kehidupan umat Islam saat ini khususnya di negara Indonesia yang kita cintai ini.

Untuk menunjukan sebagian dari fakta paradoksal dalam dakwah Islamiyah itulah tulisan ini disajikan untuk menjadi bahan informasi dan kajian ilmiah lebih lanjut bagi mereka yang setuju ataupun yang menentang pandangan-pandangan saya yang saya kemukakan dalam tulisan ini.

Paradoks Pertama. Klaim kesempurnaan dan fakta kekurangan.
Dalil yang paling populer di mulut kita sebagai para pendakwah dan yang paling laku di tengah para pengikut dakwah pastilah ayat Quran yang menerangkan kesempurnaan Islam. “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku tamatkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah rido Islam sebagai Agama kalian..” (Al Maidah: 3)

Seringkali kita menegaskan bahwa kesempurnaan ajaran Islam itu meliputi aspek aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak. Muamalah dan akhlak itu mencakup bidang pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, individu, keluarga, masyarakat, berbangsa, bernegara, berdunia dan bahkan cara beralam semesta. Itu semua adalah klaim kesempurnaan dan memang sudah pasti benarnya. Namun yang sering kita lupakan adalah dalam tataran pembuktian dan faktanya. Apa fakta dari pengakuan kesempurnaan Islam itu dalam wujud nyata kehidupan masyarakat kita sebagai muslim? Karena Al-Quran sendiri tidak hanya memerintahkan kita untuk mendakwahkan kesempurnaan Islam, tetapi juga memerintahkan kita untuk menyatakan, “… Saksikanlah bahwa kami ini adalah kaum muslimin!”

Fatktanya, dakwah kita sebagian besarnya masih berputar-putar di wilayah aqidah ke ibadah ritual. Kemudian sibuk dengan perdebatan tentang aspek cabang teologis dan cabang -cabang fikih Islam, yang ironisnya sering berakhir dengan pernyataan fonis dan menghukumi kepada sesama muslim yang berbeda pemahaman.
Fakta kehidupan muslim saat ini lebih banyak bertolak belakangnya dengan klaim dan keyakinan yang benar tentang kesempurnaan ajaran Islam yang kita anut. Dari demikian luasnya aspek kehidupan kita yang dicakup ajaran Islam nyatanya kita masih sangat minim -untuk tidak dikatakan hampir tidak ada- konsep yang jelas apalagi teori dan karya nyata tentang kesempurnaan dan keunggulan Islam di bidang yang lainnya semisal pendidikan, ekonomi, politik, hukum, apalagi bidang sain dan teknologi yang berdasarkan Al-Quran dan Hadits.

Tata kelola dunia pendidikan, teori dan penerapan sain-teknologi, sistem ekonomi, apalagi tatakelola negara, hukum dan politik dunia Islam kita, semuanya atau sebagian besarnya hanyalah menjiplak atau paling baik memodifikasi dari hasil dan karya ilmuan-ilmuan kafir barat maupun timur. Sementara dalam dakwah kita terus menerus dalam tataran slogan, klaim, dan retorika kesempurnaan Islam sambil mengabaikan kontradiksi dengan kanyataan di lapangannya yang penuh “kecacatan”, kekurangan, dan kelemahan.

Kita menyadari bahwa dakwah kita nyatanya banyak sekali dipenuhi kekurang mampuan dalam mambangun kehidupan individu yang unggul, kelemahan dalam membangun keluarganya, kelemahan dalam membangun sistem sosial kemasyarakatannya, lemah dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegaranya, demikian juga kekurang mampuan dalam membangun keseimbangan universal dengan alam semesta sebagaimana yang dipesankan oleh Islam.

Kekurangan dan kelemahan semua itu tentu saja bukan karena klaim kesempurnaan Islamnya yang tidak benar, sekali lagi bukan terletak pada Islamnya, melainkan karena kekurangan dan kelemahan dakwah kita yang justru bertolak belakang dengan klaim kita sendiri. Tidak ada yang mengingkari tentang pentingnya aspek Aqidah dan Fikih Ibadah dalam Islam, tetapi bukan untuk menjastifikasi atau mendalili diri sendiri apalagi untuk menutupi kecacatan dan kelemahan ilmu kita, bahwa memang baru sampai disitulah ilmu pengetahuan dan kemampuan wawasan kita dalam menangkap dan menguasai keluasan ajaran Islam. Atau mungkin kita belum mau atau belum mampu bergeser dari zona nyaman dakwah slogan, normatif, dan parsial menuju tataran dakwah ilmiah, aplikatif, produktif, dan komprehensif.

Paradoks kedua. Semarak dakwah dan menurunnya kualitas-kuantitas umat?
Sejak akhir tahun 80 an, gerakan dakwah di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat diawali dengan kegairahan umat Islam untuk memajukan lembaga pendidikan pesantren dan sekolah umum terpadu. Selepas gerakan reformasi gerakan dakwah menemukan momentumnya. Dibukanya kran kebebasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memberi angin segar bagi menjamurnya dakwah bahkan muncul ribuan yayasan dakwah yang baru dengan berbagai varian aliran pemikiran dan mazhabnya.

Saat ini kita menyaksikan dahsatnya semarak dakwah Islam di berbagai lini dan segmen masyarakat. Ditunjang dengan berbagai media massa yang mendukungnya, dari mulai radio, tv, hingga media sosial. Seiring dengan melimpahnya para sarjana Islam alumni perguruan tinggi dan universitas Islam dalam dan luar negeri yang mengesankan di mata orang luar seolah-olah para ustaz itu berebut panggung dakwah dan popularitas di tengah-tengah masyarakatnya.

Kesadaran umat Islam untuk mengamalkan aspek-aspek syariat tertentu terutama yang bersifat ritual dan formal seperti shalat, zakat, puasa, haji, berpakaian muslim, dan mengaji Al-Quran juga nampak sangat meningkat. Namun ironinya, semarak dakwah di permukaan itu paradoks dengan fakta-fakta kehidupan pada aspek yang lain. Seperti semakin meningkatnya perilaku sosial yang tidak bermoral, perilaku korupsi dan kolusi yang menggurita, rendahnya etos kerja dan etika sosial mayoritas masyarakat muslim, hingga merosotnya kekuatan partai politik umat dan tertinggalnya ekonomi syariah.

Bahkan yang paling ironis adalah fakta prosentase umat Islam semakin lama di Indonesai ini semakin menurun. Sebagaimana ditunjukkan oleh data beberapa survey dan penelitian tentang perkembangan penduduk muslim di Indonesia. Lebih menyedihkan lagi karena kita sebagai umat Islam di Indonesia –sependek yang saya tahu– tidak mempunyai lembaga pusat statistik sendiri yang independen untuk memantau pertumbuhan umat Islam di negeri sendiri.

Pada tahun 2014, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, pernah membeberkan sebagian data statistik umat Islam Indonesia yang didapat MUI. Dimana disebutkan bahwa pada sensus penduduk 1990 jumlah umat Islam cuma mencapai 87,6 persen. Angka ini kemudian meningkat menjadi 88,2 persen pada sensus penduduk 2000. Pertumbuhan tahunan umat Islam hanya 1,2 persen. Sementara Kristen dua kali lipatnya, yakni 2,4 persen per tahun. Bila diturunkan lagi ke tingkat provinsi, akan lebih memprihatinkan lagi. Mengutip data seorang penulis Leo Suryadinata yang menyebutkan angka pertumbuhan Kristen terbesar adalah di Provinsi Kepulauan Riau yang mencapai delapan persen per tahun. Di bawahnya, ada tiga provinsi yang angka pertumbuhan Kristen mencapai tujuh persen. Ketiganya adalah Sumatera Barat, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pada tahun 80-an penduduk Muslim di Indonesia masih lebih dari 90 persen, maka pada tahun 2000 populasi muslim turun ke angka 88,2 persen dan tahun 2010 turun lagi menjadi 85,1 persen. Di Indonesia pertumbuhan agama Islam justru menurun drastis, seperti data di bawah ini:

  1. Berdasarkan hasil riset Yayasan Al Atsar Al-Islam (Magelang) dan dalam rangkaian investigasi diperoleh data bahwa mulai tahun 1999-2000 Kristen dan Katolik di Jateng telah meningkat dari 1-5 persen diawal tahun 1990, kini naik drastis 20-25 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
  2. Dari laporan Riset Dep. Dokumentasi dan Penerangan Majelis Agama Wali Gereja Indonesia, sejak tahun 1980-an setiap tahunnya laju pertumbuhan umat Katolik: 4,6 persen, Protestan 4,5 persen, Hindu 3,3 persen, Budha 3,1 persen dan Islam hanya 2,75 persen.
  3. Dalam buku Gereja dan Reformasi penerbit Yakoma PGI (1999) oleh Pendeta Yewanggoe, dijelaskan jumlah umat Kristiani di Indonesia (dari Riset) telah berjumlah lebih 20 persen. Sedangkan menurut data Global Evangelization Movement telah mencatat pertumbuhan umat Kristen di Indonesia telah mencapai lebih 40. 000. 000 orang (19 persen dari total 210 jumlah penduduk Indonesia).
  4. BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia melaporkan penurunan jumlah umat Islam di Indonesia. Contohnya di Sulawesi Tenggara turun menjadi 1,88 persen (dalam kurun waktu 10 tahun). Demikian pula di Jawa Tengah, NTT dan wilayah Indonesia lainnya.
  5. Dalam Kiblat Garut 26 Juni 2012, Menteri Agama RI saat itu, Suryadharma Ali mengatakan, dari tahun ke tahun jumlah umat Islam di Indonesia terus mengalami penurunan. Padahal di sisi lain, jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Semula, jumlah umat Islam di Indonesia mencapi 95 persen dari seluruh jumlah rakyat Indonesia. Secara perlahan terus berkurang menjadi 92 persen, turun lagi 90 persen, kemudian menjadi 87 persen, dan kini anjlok menjadi 85 persen.
  6. Menurut data Mercy Mission, sebanyak 2 juta Muslim Indonesia murtad dan memeluk agama Kristen setiap tahun. Jika ini berlanjut, diperkirakan pada tahun 2035, jumlah umat Kristen Indonesia sama dengan jumlah umat Muslim. Pada tahun itu, Indonesia tidak akan lagi disebut sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
    Semua yang dipaparkan di atas menunjukan bahwa memang ada paradoksal antara kesemarakan dakwah di permukaan media massa dan di medsos dengan fakta-fakta pertumbuhan umat Islam secara kualitatif maupun kuantitatif. Akankah kita umat Islam akan berdim diri membiarkan populasi muslim tergerus oleh waktu karena ulah umat Islam sendiri. Masihkah kita merasa asyik dengan pola fikir dan metode sendiri dalam menjalankan dakwah tanpa melihat fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya secara lebih strategis.?

Bersambung…..!