PETAKA TAFSIR AGAMA DI TENGAH EUFORIA MODERASI BERAGAMA
Oleh:
Teten Romly Qomaruddien
Maha benar Allah ‘azza wa jalla atas segala firmanNya, dan Maha sempurna atas segala yang diturunkanNya. Sebagaimana dimaklumi, derasnya euforia pemikiran dalam menafsir agama telah sampai pada puncak yang mengkhawatirkan. Bahkan sampai pada gugatan kesempurnaan agama yang seharusnya dijunjung tinggi. Seiring rasa cemburu yang menggebu, untuk turut rembuk dalam memelihara pemahaman ummat, bi idznillaah goresan pena ini dapat hadir di tengah-tengah mubaahatsah ‘ilmiyyah kita.
A. Memahami Agama dengan Hawa Nafsu
Sebagai pengikat keteguhan iman dan kokohnya nalar intelektual, penting memunculkan terlebih dahulu isyarat Rabbaaniyyah tentang larangan Allah ‘azza wa jalla mengenai memahami ajaran agama dengan hawa nafsu, dan menafsir agama tanpa piranti ilmu. Di antaranya ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
اَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُۗ اَفَاَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكِيْلًا
“Tidakkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya.” (Al-Furqan/ 25: 43)
يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله، ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المبطلين، وتأويل الجاهلين
“Ilmu ini akan dipikul oleh generasi belakangan yang adil, yang akan membersihkannya dari perubahan berlebihan, skenario batil, dan interpretasi tanpa ilmu.” (HR. Al-Baihaqi dari Ibrahim bin ‘Abdurrahman Al-‘Udzri radhiyallaahu ‘anh)
B. Fenomena Bias Tafsir
Para ulama mu’tabar telah membuat rumusan-rumusan, bagaimana tafsir yang ahsan dan aslam dalam menafsirkan agama. Tanpa menegasikan pendekatan lain, Tafsir bil ma’tsuur menjadi pendekatan yang dianggap prioritas, lebih selamat untuk didahulukan dalam memaknai narasi-narasi agama.
Adapun pendekatan-pendekatan lainnya, yakni Tafsiir bir ra’yi dengan segala variannya (seperti halnya Tafsiir bil ‘ilmi) dapat mengikuti turut mengawal Wahyu dan menguatkannya. Maka sangat wajar apabila Dr. Mahmud Basuni Faudah (penulis kitab At-Tafsiir wa Manaahijuh, 1987) menyebut empat tokoh kitab tafsir bil ma’tsuur; As-Suyuuthi, Al-Qurthubi, At-Thabari, dan Ibnu Katsir sebagai ummahaat kutubit tafsiir, yakni induk kitab-kiitab tafsir.
Dengan munculnya varian tafsir baru semisal hermeneutika, tampaknya liberalisasi tafsir menemukan momentumnya dengan segala produk yang dilahirkannya.
C. Agama dan Pendekatan Memahaminya
Telah masyhur di kalangan para ulama, agama didefinisikan sebagai berikut:
وضع إلهي يدعو أصحاب العقول إلى قبول ما هو عند الرسول صلى الله عليه وسلم
“Ketetapan Ilahi yang mengajak orang-orang yang memiliki akal untuk menerima wahyu yang diterima oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (As-Syarief ‘Ali bin Muhammad al-Jarjani, Kitaabut Ta’riifaat, tp. tahun: hlm. 105)
Dalam Al-Qur’anul Kariem, suatu ketetapan keyakinan disebut dengan kata diinun, atau millatun. Sekalipun tampak sama, namun memiliki makna yang berbeda. Apabila dihubungkan dengan sesuatu yang wajib dipatuhi, itulah diinun. Sedangkan terkait dengan pengelompokkannya disebut millatun. Adapun dihubungkan dengan sesuatu pendapat yang dipegang sebagai rujukan, itu disebut madzhabun. Maka dapat dikatakan; diinun disandarkan pada Allah ‘azza wa jalla, millatun disandarkan pada Rasul, dan madzhab disandarkan pada ahli ijtihad. (Al-Jarjani, hlm. 106)
Untuk mudahnya memahami ajaran agama, maka ada beberapa pendekatan yang patut diperhatikan sebagai berikut:
Pertama; Pendekatan Wahyu
Yang dimaksud wahyu adalah; Al-Qur’anul Kariem, dan As-Sunnah an-Nabawiyyah. Keduanya sering disebut sebagai sumber pokok petunjuk (mashdarul hudaa) yang berfungsi sebagai tali Allah yang kokoh (hablullaahil matiin).
الإعتصام بحبل الله نجاة كسفينة نوح، فمن ركب فقد نجا ومن بعد أغرق
“Berpegang teguh pada tali Allah ‘azza wa jalla laksana naik bahtera Nabi Nuh ‘alaihis salaam. Siapa yang bersegera naik, maka ia selamat. Dan siapa yang menjauh/ mengakhirkan diri, maka ia tenggelam.” (Pandangan Muhaddits Abu Syihab Az-Zuhri, sebagaimana dipetik Al-Hafizh Ibnu Katsir)
Kedua; Pendekatan Akal
Mayoritas para ulama salaf, membagi akal menjadi dua bagian; Akal yang selamat (Al-‘aqlus saliim), dan akal yang tidak selamat (Al-‘aqlu ghairus saliim)
Sebelum memahami makna keduanya, terlebih dahulu perlu dipahami hakikat akal itu apa? Al-Hafizh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Ighaatsatul Lahfaan menjelaskan:
سمي العقل عقالا لأنه يعقل كما يعقل الحصان على الأشجار
“Disebut akal itu ‘iqaal (tali kekang), karena fungsinya mengekang. Seperti seekor kuda yang diikatkan tali kekangnya pada pohon.”
Dalam kitabnya yang lain, yakni I’laamul Muwaqqi’iin ditegaskan: “Pendapat yang benar dipengaruhi oleh cara berfikir yang lurus, berfikir yang lurus dipengaruhi akal yang selamat, dan ciri akal yang selamat adalah tunduknya akal pada wahyu.”
Melengkapi pandangan sebelumnya, orang tua dan guru kita Dr. Mohammad Natsir, mengurai masalah ini dalam kitabnya Capita Selecta (1973). Menurutnya, hakikat akal itu merdeka, namun merdekanya akal pada kenyataannya terdiri dari beragam kategori; ada akal merdeka yang terpimpin, ada akal merdeka yang tersesat, dan ada akal merdeka yang liar. Yang terpimpin mau tunduk pada wahyu, yang tersesat tidak mau tunduk pada wahyu, dan yang liar benar-benar lepas dari hakikat akal itu sendiri sebagai anugerah Allah yang berfungsi mengawal kebenaran.
Ketiga; Pendekatan Fithrah
Makna fithrah menurut para ulama ‘aqidah adalah at-tauhied, di mana setiap manusia lahir hakikatnya “dalam keadaan bersih”, yakni murni dalam ketauhidan sebagai modal kebenaran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membaginya menjadi dua kategori; fithrah yang tercipta sejak lahir (fithrah ghariezah/ mukhallaqah), dan fithrah yang diturunkan melalui ajaran Allah ‘azza wa jalla dan rasulNya (fithrah munazzalah).
D. Euforia Moderasi Beragama
Diskursus terkait moderasi beragama, kini kembali mencuat dan menjadi euforia yang bisa dimaknai aneka penafsiran. Interpretasi ini bukanlah barang baru dalam mengusik diksi dan narasi agama, melainkan lanjutan dari proyek pemikiran sebelumnya; mulai dari istilah kontekstualisasi ajaran agama, modernisasi hukum Islam, hingga liberalisasi tafsir. Inilah buah dari perang pemikiran (ghazwul fikri) yang dihadapi oleh umat Islam saat ini.
Dengan memotret rekam jejak yang cukup panjang, istilah moderasi beragama sudah sangat sering dijadikan kendaraan untuk suksesnya liberalisasi agama. Seiring dengan itu semua, terjadinya pembajakan istilah-istilah Al-Qur’an yang mulia seperti halnya wasathiyyah (pertengahan), kalimatun sawaa’ (kalimat yang sama), al-haniifiyyah as-samhah (lurus dan toleran), atau pun rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat untuk sekalian alam), seringkali berubah jauh menjadi terjemahan dan tafsiran baru yang telah diselaraskan dengan kepentingan global. Gelombang pemikiran seperti ini, Dr. Muhammad ‘Imarah menyebutnya dengan “perang terminologi” (ma’rakah musthalahaat).
E. Mengapa Harus Moderasi Beragama?
Adanya istilah “moderasi beragama”, apabila yang dimaksud adalah bagaimana memahami agama secara adil, seimbang, dan pertengahan menurut Islam itu sendiri, tentu tidak ada problem tafsir di dalamnya. Namun jika ditafsirkan berdasarkan arah kompas pemikiran kepentingan global, sudah dipastikan bahwa menjadi “muslim moderat” maksudnya “menjadi liberal”. Kalaupun dipaksakan keukeuh harus disebut “moderat”, tentu “moderat remang-remang” yang tidak memiliki landasan definitif yang jelas.
Sebagaimana dipaparkan Prof. Hamid Fahmi Zarkasi, Ph.D (santri akademis, alumni Brimingham Inggris), menggejalanya tafsir moderat tidak dapat dilepaskan dari tafsir yang berlaku di Barat. Lebih jelasnya, menurut Cheryl Benard dari The Rand Corporation (lembaga think-thank untuk Security Council di Amerika Serikat), bahwa peta pemikiran global pasca 11/9, mendorong terbaginya Muslim menjadi empat golongan:
- Fundamentalis; Muslim yang menolak demokrasi dan kultur Barat.
- Tradisionalis; Muslim konservatif yang mencurigai modernitas dan perubahan.
- Modernis; Muslim yang menginginkan dunia Islam menjadi bagian dari modernitas Barat.
- Sekularis; Muslim yang menjadikan agama sebagai wilayah individu, memisahkan negara dengan agama.
Dari paparan singkat tersebut, sangat nyata bahwa “sasakala gagasan”, atau asal muasal lahirnya propaganda “muslim moderat” yang dimaksud bukanlah wasathiyyatul Islaam, yakni konsep pertengahan dalam Islam seperti dijelaskan para ulama Muslim yang mu’tabar dan mu’tamad, baik kalangan salaf maupun khalaf.
Penulis adalah: Anggota DH PP Persatuan Islam (Komisi ‘Aqidah), anggota KP3 MUI Pusat, dan Ketua Bidang Kajian & Ghazwul Fikri Dewan Da’wah