Shaum Arofah dan Iedul Adha: Mengikuti Penanggalan Saudi atau Penanggalan Masing-Masing Negara?

Pendapat pertama:

Shaum Arofah dan Iedul Adha harus mengikuti penanggalan Saudi Arabia sebagai tempat penyelenggaraan Ibadah Haji, dan mengabaikan penanggalan masing-masing negara meskipun jaraknya berjauhan dan berbeda Mathla’  jika mereka berbeda tanggal.

Adapun argument yang dibangun adalah :

  1. Adanya syariat Shaum Arofah sebelum Iedul Adha mengaharuskan mengikuti persamaan dengan pelaksanaan waktu ibadah haji. Yaitu wukuf pada tanggal Sembilan dan penyembelihan hadyu pada tanggal sepuluhnya. Sebagaimana difatwakan oleh Lajnah Daimah Kerajaan Saudi:

س1: هل نستطيع أن نصوم هنا يومين لأجل صوم يوم عرفة؛ لأننا هنا نسمع في الراديو أن يوم عرفة غدا يوافق ذلك عندنا الثامن من شهر ذي الحجة؟

ج1: يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة ، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يوما قبله فلا بأس

Tanya: “Bolehkah kami melakukan puasa di sini, di luar Arab Saudi selama 2 hari untuk hari Arafah, karena kami di sini mendengar di radio bahwa hari Arafah adalah besok yang bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah menurut pemerintah kami?”

Jawab: “Hari Arafah adalah hari yang mana manusia melakukan wukuf di Arafah . Puasa hari Arafah disyariatkan bagi orang yang tidak sedang sibuk dengan ibadah haji. Kalau Anda mau berpuasa, maka Anda berpuasa pada hari ini. Kalau Anda berpuasa sehari sebelumnya, maka tidak apa-apa.  (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah al-Majmu’ah al-Ula: 4052 (10/393-4)

Secara umum dalil yang mereka pakai adalah berikut:

عن عبدالعزيز بن عبدالله بن خالد بن أَسِيْد، أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: يوم عرفة اليوم الذي يعرف فيه الناس

Dari abdul Aziz bin Abdillah bin khalid bin asid, bahwa Nabi SAW bersabda: hari arafah adalah hari dimana manusia berkumpul di arafah (HR Abu Daud)

عن عائشة رضي الله عنها، قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: عرفة يوم يعرف الإمام، والأضحى يوم يضحي الإمام، والفطر يوم يفطر الإمام

Dari Aisyah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: arafah adalah hari dimana imam (pemerintah) melakukan wukuf, dan Idul adha adalah hari dimana imam menyembelih qurban, dan fitr adalah hari dimana imam mulai makan (tidak lagi berpuasa) (HR Baihaqi)

Melalui hadist tersebut di atas, diambil kesimpulan hukumnya oleh para ulama yang meyakini bahwa hari Arafah itu adalah hari dimana orang-orang sedang wukuf, dan hari puasa itu adalah hari dimana orang-orang secara mayoritas sedang berpuasa.

  • Beralasan adanya “Ijma para ulama sedunia” yang menganggap bahwa keberangkatan haji disesuaikan dengan kalender Saudi Arabia yang telah menentukan tanggal pelaksanaan wukuf di Arafah.

Pendapat Kedua:

Bahwa perintah shaum baik Ramadhan ataupun shaum lainnya berdasarkan penanggalan setiap negara sesuai Mathla’ masing-masing. Maka jika beda kemunculan hilal pada suatu negara dari kemunculan hilal di Negara Saudi, negara tersebut mengikuti rukyat hilal di negara masing masing. Adapun dalil yang dipakai sandaran adalah :

عنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Dari Kuraib: “Sesungguhnya Ummu Fadl binti al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib:” Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan)?” Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?” Jawabku: “Ya! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata: “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawal) “. Aku bertanya: “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah?” Jawabnya : “Tidak! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami (HR Muslim)

Dalil dalil lain yang dijadikan penguat pendapat kedua adalah:

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ

Dari istri-istri Nabi berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya , serta senin dan kamis pada setiap bulan. (HR. Abu Daud & nasai)

Hadist dari Dari Ummul Fadhil bintil Harits RA

أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ

Bahwa manusia berselisih tentang hari Arafah pada puasa Nabi SAW. Sebagian mereka berkata: “Beliau berpuasa.” Sebagian lain berkata: “Beliau tidak berpuasa.” Maka Ummul Fadhel mengirimkan segelas susu kepada beliau dalam keadaan beliau berada di atas unta beliau. Maka beliau meminumnya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkomentar tentang hadits di atas:

قوله في صوم النبي صلى الله عليه و سلم هذا يشعر بأن صوم يوم عرفة كان معروفا عندهم معتادا لهم في الحضر

Lafadz “mereka berselisih tentang puasa Nabi SAW” Ini memberikan pemahaman bahwa puasa hari Arafah itu sudah dikenal di kalangan mereka, dan juga dibiasakan oleh mereka ketika hadir di rumah.” (Fathul Bari: 4/237).

Pendapat para ulama salaf tentang makna Hari Arafah sebagaimana berikut:

Ibnu Qudamah:

فأما يوم عرفة: فهو اليوم التاسع من ذي الحجة

Sedangkan hari Arafah adalah hari kesembilan dari Dzulhijjah . (Almughni. 4/446)

Syaikhul Islam Zakariya Al Anshari

سن صوم يوم عرفة، وهو تاسع ذي الحجة

“Disunnahkan puasa hari arafah, yakni hari ke sembilan Dzulhijjah . . (Fathul wahhab. 1/145)

Badruddin al-Ayni menyatakan:

وأما عرفة فإنها تطلق على الزمان وهو التاسع من ذي الحجة وعلى المكان وهو الموضع المعروف الذي يقف فيه الحجاج يوم عرفة

“Adapun Arafah, maka ia dikatakan untuk menamai waktu, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah, dan juga bisa dikatakan untuk menamai tempat, yaitu tempat yang dikenal yang mana jamaah haji melakukan wukuf pada hari Arafah di tempat itu. ”  ) Umdatul Qari Syarh Shahihil Bukhari: 8/183)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani :

لستة أيام متوالية من أيام ذي الحجة أسماء الثامن يوم التروية والتاسع عرفة والعاشر النحر والحادي عشر القر والثاني عشر النفر الأول والثالث عشر النفر الثاني

“Ada 6 hari berturut-turut di bulan Dzulhijjah yang mempunyai nama khusus. Tanggal 8 Dzulhijjah adalah hari Tarwiyah. Tanggal 9 adalah hari Arafah. Tanggal 10 adalah hari Nahr. Tanggal 11 adalah hari Qarr. Tanggal 12 hari Nafar Awal dan tanggal 13 adalah hari Nafar kedua.”

Imam Nawawi dalam Mengomentari Hadist pendukung pendapat pertama:

قَال أَصْحَابُنَا: وَليْسَ يَوْمُ الفِطْرِ أَوَّل شَوَّالٍ مُطْلقًا وَإِنَّمَا هُوَ اليَوْمُ الذِي يُفْطِرُ فِيهِ النَّاسُ بِدَليل الحَدِيثِ السَّابِقِ، وَكَذَلكَ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَذَا يَوْمَ عَرَفَةَ هُوَ اليَوْمُ الذِي يَظْهَرُ للنَّاسِ أَنَّهُ يَوْمَ عَرَفَةَ، سَوَاءٌ كَانَ التَّاسِعَ أَوْ العَاشِرَ

“Telah berkata sahabat kami (Syafiiyah): Tidaklah hari berbuka itu bermakna hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari dimana orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu : ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan . Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh bagi tempat lain . (imam Nawawi. Al Majmu;  5/27)

Dalam ‘Al-Qamus’ al-Muhith dikatakan:

ويومُ عَرَفَةَ : التاسِعُ من ذي الحِجَّةِ . وعَرَفَاتٌ : مَوْقِفُ الحاجِّ ذلك اليَومَ على اثْنَيْ عَشَرَ مِيلاً من مكَّةَ

“Hari Arafah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan Arafat adalah tempat wukufnya jamaah haji di hari itu yang berada 12 mil dari Makkah .

Adapun yang dimaksud dengan Hari Arofah yang dijadikan Dasar Sunnahnya Shaum Arofah adalah merujuk kepada penanggalan berdasarkan rukyat hilal, bukan merujuk kepada tempat maupun ritual hajinya bagi negara yang berbeda tanggal dengan Saudi Arabia: Sebagaimana dikatakan Syekh Al Utsaimin:

وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه.

“Atas dasar demikian, maka berpuasalah kalian dan berbukalah sebagaimana puasa dan berbukanya penduduk negeri yang kalian tempati. Baik itu sesuai negeri kalian yang asli ataukah menyelisihinya. Demikian pula hari Arafah, maka ikutilah negeri yang kalian tempati .”  (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin: 19/25)

Adapun argument yang mengatakan adanya Ijmak bahwa Shaum Araofah Harus mengikuti pelaksaan Wukuf Arofah sudah terbantahkan dengan adanya ikhtilaf di kalangan para ulama terdahulu. Sebab dalam pandangan ulama ushul, Ijma’ atas perkara yang sudah lebih dahulu terjadi ikhtilaf di dalamnya maka tidak bisa diterima sebagai sebuah kesepakatan hukum menurut kaidah ushul fikih:

ولا يصح الإجماع مع وجود الخلاف منها

Tidak dibenarkan Ijma’ dengan adanya perselisihan di dalam perkaranya. (Imam Al Jashos. Al fushul fil Ushul.  3/311)

Pendapat Ibnu Abidin Tentang Perbedaan Qurban karena Berbeda Mathla’

يُفْهَمُ مِنْ كَلَامِهِمْ فِي كِتَابِ الْحَجِّ أَنَّ اخْتِلَافَ الْمَطَالِعِ فِيهِ مُعْتَبَرٌ فَلَا يَلْزَمُهُمْ شَيْءٌ لَوْ ظَهَرَ أَنَّهُ رُئِيَ فِي بَلْدَةٍ أُخْرَى قَبْلَهُمْ بِيَوْمٍ وَهَلْ يُقَالُ كَذَلِكَ فِي حَقِّ الْأُضْحِيَّةِ لِغَيْرِ الْحُجَّاجِ؟ لَمْ أَرَهُ وَالظَّاهِرُ نَعَمْ؛ لِأَنَّ اخْتِلَافَ الْمَطَالِعِ إنَّمَا لَمْ يُعْتَبَرْ فِي الصَّوْمِ لِتَعَلُّقِهِ بِمُطْلَقِ الرُّؤْيَةِ، وَهَذَا بِخِلَافِ الْأُضْحِيَّةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا كَأَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ يَلْزَمُ كُلَّ قَوْمٍ الْعَمَلُ بِمَا عِنْدَهُمْ فَتُجْزِئُ الْأُضْحِيَّةُ فِي الْيَوْمِ الثَّالِثَ عَشَرَ وَإِنْ كَانَ عَلَى رُؤْيَا غَيْرِهِمْ هُوَ الرَّابِعَ عَشَرَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Difahami dari perkataan mereka dalam kitab Haji bahwa perbedaan mathla’ dianggap sebagai faktor yang diterima, maka tidak diwajibkan konsekuensi apapun bagi mereka jika negara lain melihat hilal sehari sebelum hari di Mekkah. Dan apakah bisa dianggap hal serupa untuk kasus udhiyyah bagi selain yang berhaji? Aku kira demikian secara dhahir. Karena perbedaan mathla’ tidak dianggap dalam puasa kecuali karena keterkaitannya dengan ru’yah. Dan ini tak berbeda dengan udhiyyah, dan yang jelas bahwasanya hal tersebut sama seperti waktu shalat, dimana diwajibkan bagi setiap kaum melakukannya sesuai waktu yang berlaku di tempatnya, maka boleh berkurban di hari ke tiga belas sekalipun dalam ru’yah negara lain adalah hari ke empat belas. Wallahu a’lam . (Hasyiyah Ibnu Abidin. 2/394)

Kesimpulan dan Ringkasan dari berbagai Sumber:

Setidaknya ada 7 alasan shah dan kuatnya pendapat yang mengharuskan mengikuti penanggalan di negeri sendiri jika terjadi perbedaan tanggal dengan negara Saudi:

Pertama :

Penyebutan istilah “hari ‘Arofah” pada asalnya adalah untuk tanggal, bukan pada tempat atupun aktivitas tertentu. Hari ‘Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijah, baik ada yang wukuf ataupun tidak, baik ada yang puasa ataupun tidak. Karena penyebutan nama hari jika pada nama hari-hari dalam sepekan maka maksudnya adalah benar-benar nama hari tersebut secara hakiki. Umpamanya “yaum isnaen” artinya Hari Senin, tidak ada kaitannya dengan tanggal. Hari Senin bisa tanggal berapa saja. Tetapi jika disebut nama hari yang bukan kepada nama hari yang tujuh dalam seminggu itu maknanya adalah tanggal. Umpamanya dikatakan, “ayyamul bid” (hari-hari purnama) maksudnya adalah tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan; “yaum tarwiyah” artinya tanggal delapan Dzulhijah, “yaum tasyrik” artinya tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, tidak peduli ia jatuh pada hari apa saja. Maka demikian juga jika dikatakan “shaum yaum ‘arofah” maksudnya puasa tanggal sembilan dzulhijah, tidak peduli jatuh pada hari senin, selasa, rabu, kamis, jum’at, sabtu, ataupun ahad.

Kedua;

Bahwa perintah puasa ‘Arofah adalah “Shaum yaum ‘arofah”. Artinya “puasa pada hari ‘Arafoh” bukan puasa karena adanya perbuatan wukuf di ‘Arofah, bukan pula “puasa karena tempat ‘Arofah”.  Perhatikanlah perbedaannya dengan cermat karena di sinilah letak perselisihannya.  Sebab jika ‘Arofah sebagai tempat dan sebagai aktivitas wukuf menjadi syaratnya, maka puasa Arofah hanya ada jika ada yang wukuf di ‘Arofah.

Ketiga:

Puasa ‘Arofah sudah disyariatkan sejak tahun kedua Hijrah sedang syariat ibadah haji baru pada tahun ke enam atau ke sembilan Hijrah. Jadi selama empat atau tujuh tahun, kaum muslimin puasa ‘Arofah tanpa memperhatikan kapan jamaah haji wukuf, atau tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya yang wukuf di ‘Arofah.

Keempat:

Pelaksanaan puasa ‘Arofah dengan tidak memperhatikan penanggalan setempat akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih sulit, yaitu penentuan hari lebaran Idul Adha nya. Kalau memang ada dalil yang diperselisihkan tentang pengertian puasa ‘Arofah, apakah untuk Idul Adhanya juga harus mengikuti penanggalan Saudi? Maka akan terjadi kekacaun penanggalan bulan Dzulhijah selanjutnya yaitu setelah tanggal sepuluh. Kecauli kalau mau konsisten untuk sepanjang tahun tidak menggunakan penanggalan negeri masing-masing tetapi menggunakan penanggalan tunggal mengikuti hasil ru’yat Saudi dengan konsekwensi negeri-negeri muslim seluruh dunia tidak akan punya kalender melainkan menunggu ketetapan ru’yat Negara Saudi pada setiap awal bulan.

Kelima:

Fakta ilmiyah menunjukan bahwa negeri-negeri muslim terbagi pada dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang berbarengan terkadang berbeda. Karena munculmya hilal tidak menetap pada posisi dan ketinggian yang sama setiap awal bulan nya. Demikian juga perbedaan waktu antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah timur ada yang terpaut sampai 12 jam. Sementara pelaksanaan wukuf hanya sekitar enam jam, yaitu dari bada Zhuhur sampai Magrib. Sehingga jika kaum muslimin yang tinggal di sebagian benua Amerika yang beda waktunya antara tujuh sampai delapan jam, maka ia tidak dapat menunaikan ibadah puasa ‘Arofah karena pelaksanaan wukufnya sudah selesai. Sebaliknya kaum muslimin yang ada di Australia juga tidak bisa puasa ‘Arofah karena ketika wukuf baru mulai mereka sudah waktu malam.

Keenam:

Fakta historis bahwa selama berabad-abad lamanya kaum muslimin di dunia melaksanakan puasa Ramadhan maupun Arofah berpatokan kepada penanggalan negara masing-masing. Sejak wafatnya Rasulullah hingga abad ke dua puluh, tidak ada satupun negeri muslim yang berjauhan jaraknya dan berbeda Mathla’ rukyatul hilalnya, yang menyesuaikan penanggalan mereka kepada ru’yat negara Saudi, keculai setelah diketemukannya alat komunikasi dan transformasi yang canggih sekarang ini. Bagaimana mungkin akan memberi tahukan hasil ru’yat di Saudi ke pusat khalifah Islam di Bagdad dan Qordofa pada masa itu, atau ke pusat Islam di Jawa dan Sumatra, atau ke pusat Islam di India, dan lain sebagainya. Kecuali ke negeri-negeri Islam yang berada di sekeliling Mekah atau Jazirah Arab, dan itu memang hal yang rasional serta realistis.

Ketujuh:

Tidak ada dalil yang mengkhususkan atau yang membedakan antara ketentuan ru’yat untuk Idul fitri dengan ru’yat Idul Adha. Rasul bahkan bersabda, “Siapa di antara kamu yang sudah melihat Hilal Dzulhijah dan hendak berqurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan jangan menggunting kukunya”. (hadits Sahih Muslim)

Demikian pula sabda Rasulullah, “Lebaran adalah pada saat kalian berlebaran dan berkurban adalah pada saat kalian berqurban”. (Hadits sahih riwayat Tirmidzi). Kedua hadits tersebut berlaku bagi setiap negeri muslim, bukan hanya untuk Saudi Arabia saja.

Wallahu’alam bishshawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *