Di antara karakteristik gerakan dakwah Islam di Indonesia pada awal abad ke dua puluh atau tahun 1900 an adalah bangkitnya gerakan dakwah yang terorganisir yang ditandai dengan berdirinya tandzhim, jam’iyah, muassasah, atau lembaga-lembaga dakwah. Meskipun hal itu merupakan fenomena umum yang terjadi di negeri-negeri muslim yang berada dalam kolonialisasi bangsa Barat, baik di Asia, Afrika, maupun anak benua India, tetapi kebangkitan gerakan dakwah Islam melalui gerakan ormas di Indonesia memiliki karakteristik yang istimewa.
Tidak mengherankan jika figur-figur ulama besar dan du’at yang sangat berpengaruh dalam pergerakan dakwah Islam Indonesia pada awal abad dua puluh tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan dakwah melalui organisasi-organisasi masa (Ormas) sebagai wadah perjuangannya. Seperti kebesaran HOS Cokro Aminoto yang identik dengan Sayarikat Islam, Syekh Ahmad Surkati dari Al Irsyad, Syekh Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, Syekh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam (PERSIS), Syekh Hasyim As’ary dari Nahdhatul Ulama, Syekh Abdul Halim dari PUI, dan sederet ulama-ulama besar lainnya yang lahir seiring dengan kebangkitan gerakan dakwah dan perjuangan nasional melalui Ormas.
Ada banyak faktor pendorong bangkitnya dakwah Islam di Nusantara melalui gerakan Ormas yang penulis amati:
Pertama. Hilangnya kepemimpin formal Islam setelah kerajaan-kerajaan Islam di seluruh nusantara dilumpuhkan dan kekuasaan mereka diambil alih oleh pemerintah penjajah Belanda. Rakyat dan masyarakat Islam memberdayakan diri mereka sendiri dipimpin oleh para ulama, kiyai, dan guru ngaji setempat.
Kedua. Perjuangan melalui perlawanan fisik dan persenjataan secara sporadis. Local, dan terpecah-pecah terbukti mengalami kekalahan demi kekalahan karena ketidak seimbangan persenjataan dan kemampuan tempur, selain memang kecerdikan Belanda dalam mengadu domba kekuatan pribumi.
Ketiga. Umat Islam berada dalam kondisi yang benar-benar terpinggirkan dalam segala aspek kehidupan. Keinginan untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas sumberdaya umat tidak mungkin dilakukan orang perorang tetapi harus melalui gerakan yang terorganisir.
Keempat. Kenyataan bahwa meskipun penduduk Nusantara lebih dari Sembilan puluh persen beragama Islam, akan tetapi mayoritasnya belum memahami dan mengamalkan agama mereka secara benar dan memadai dikarenakan sangat minimnya lembaga pendidikan dan lemahnya gerakan dakwah yang membina mereka disebabkan terbatasnya keberadaan para ulama dan juru dakwah. Sementara di internal para alim ulamanya sendiri sering terjadi silang pendapat karena perbedaan faham dan madzhab Islam yang dianutnya.
Kelima. Adanya perubahan kebijakan politik pemerintah penjajah Belanda terhadap pergerakan kaum pribumi, yaitu dengan membuka kran kebebasan berkumpul dan berserikat bagi rakyat jajahan untuk memajukan diri. Maka peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh para tokoh pejuang Islam untuk membangun wadah perjuangan berbasis masa dan berasaskan ideologi Islam
Keenam. Fakta saat itu menunjukkan bahwa dakwah Islamiyah tidak cukup dilakukan secara fardiyah atau individual dengan mengandalkan kemampuan ilmu dan kharisma pribadi para ulama dan da’i saja. Sebab umat bukan hanya membutuhkan siraman ilmu dan fatwa agama semata, tetapi membutuhkan kepemimpinan yang menggerakan mereka kepada kemaslahatan hidup bersama di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, hingga kekuatan politik untuk melawan penjajahan.
Akumulasi faktor-faktor di atas nampaknya membangunkan kesadaran yang sama pada jiwa tokoh-tokoh masyarakat muslim Nusantara saat itu setidaknya pada dua hal pokok, yaitu : pertama, lahirnya kesadaran umum bahwa mereka adalah umat yang satu yaitu sebagai umat Islam meskipun berbeda-beda pulau, beda suku, bahasa, budaya, maupun perbedaan kesultanan atau kerajaan; kedua, lahirnya kesadaran bahwa mereka adalah bangsa yang satu nasib sebagai bangsa terjajah yang ratusan tahun hidup dalam cengkraman kaum kafir Belanda.
Kesadaran ini kemudian menyalakan api perjuangan yang berkobar-kobar untuk menjadi bangsa yang merdeka sekaligus menjadi muslim yang berjaya. Namun pada saat itu kepemimpinan formal di bawah raja-raja dan sultan-sultan telah dilumpuhkan Belanda, maka kebangkitan perjuangan umat melalui kepemimpinan ulama adalah alternatif yang sangat tepat. Proses kelahiran para pemimpin umat dari tubuh rakyat itu sendiri hanya mungkin terjadi melalui lembaga non pemerintah dan bukan atas dasar keturunan darah ningrat ataupun bangsawan. Maka melahirkan kepemimpinan umat melalui musyawarah hanya bisa dengan mendirikan lembaga kemasyarakatan.
Karena itu arti penting kehadiran ormas-ormas Islam pada akhir awal abad keduapuluh sangatlah nyata: (1) menggerakan dakwah Islam secara masif melalui jalur pendidikan, tabligh, dan pemberdayaan ekonomi pribumi dengan melibatkan semua kalangan muslim; (2) memupuk kesadaran yang luas pada masyarakat muslim Nusantara bahwa di atas perbedaan mereka yang terdiri dari bermacam pulau, kesultanan, suku, bahasa, budaya, bahkan perbedaan orientasi mazhab agama, mereka tetap adalah umat yang satu yaitu umat Islam; (3) Membangun tradisi musyawarah dalam memilih pemimpin dan merumuskan program perjuangan sehingga tidak lagi menggunakan sistem feodalistik dan kasta-kasta sosial tradisional yang berdasarkan kekuasaan turun-temurun.
Gambaran singkat di atas sungguh menegaskan jasa yang luar biasa dari ormas-ormas Islam yang berdiri pada masa penjajahan. Ormas-ormas Islam itu telah menyiapkan kader-kader pemimpin umat ke depan sekaligus meletakan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai persiapan pembentukan bangunan negara Indonesia merdeka di kemudian hari yang berbeda dari sistem bernegara sebelumnya. Yaitu sebagai negara republik yang berdasarkan sistem musyawarah mufakat, bukan negara otoriter berdasar sistem monarchi, sosialis-komunis, dan bukan pula negara teokrasi.
Dalam posisinya sebagai institusi sosial keagamaan masyarakat, ormas juga memerankan diri sebagai mitra pemerintah dalam perjuangan mempertahankan, mengawal, serta mengisi kemerdekaan. Agar kemerdekaan yang telah diraih itu benar-benar dipimpin, diisi, dan dibangun sejalan dengan spirit perjuangan rakyat yang telah rela mengorbankan jiwa raga dan harta benda mereka karena semangat jihad fi sabilillah.
Dengan demikian keberadaan ormas-ormas menjadi kekuatan rakyat dalam partisipasi mempercepat program pembangunan bangsa sekaligus menjadi mediator penyalur aspirasi, pengontrol, dan pengoreksi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat melalui jalur dakwah amar makruf nahyi munkar.
Peran-peran penting itu terus ditunaikan oleh Ormas-Ormas Islam secara konsisten di bawah bayang-bayang kekuasaan dan orde politik yang silih berganti; dari pra kemerdekaan, awal kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga orde reformasi sekarang ini. Gerakan dakwah ormas-ormas Islam itu terus melahirkan kader-kader pemimpin umat di bidang politik, ekonomi, pendidikan, dan terutama kader-kader duat dan ulama yang berdampak positif bagi pemberdayaan dan penguatan posisi umat Islam secara nasional maupun internasional.
Mengingat begitu besar peran dan jasa ormas terhadap kemajuan umat Islam khususnya dan terhadap kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia pada umumnya, maka sudah sepatutnya Negara memberikan penghargaan dan posisi yang layak secara konstitusional. Yang justru aneh adalah orang-orang yang setengah alim jadi juru dakwah tapi tidak paham sejarah dakwah kaumnya sendiri, sehingga dengan kejahilannya menganggap ormas sebagai batu sandungan bagi kemurnian ajaran agama, persatuan, dan kejayaan Islam.
Bekasi, 15 November 2021
K.H. Dr. Jeje Zaenudin, M.Ag.
(Ketua STAI PERSIS Jakarta/Ketua MUI Pusat)