Kebuntuan Logika
Oleh
Aay Mohamad Furkon
Aktifis Persatuan Islam (PERSIS)

Ruang publik kembali gaduh, di penghujung Agustus 2021 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengeluarkan kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Namun sayang, peraturan menteri yang seharusnya mengarahkan perguruan tinggi menjadi keunggulan akademik (academic excellency), malah sebaliknya terjadi kebuntuan logika (logical impassed).
Sebagai masyarakat Indonesia yang beragama, tak diragukan lagi semua sepakat untuk melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual di semua lapisan masyarakat, tak terkecuali di semua lapisan lembaga pendidikan. Lahirnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, secara garis besar perlu diberikan apresiasi, Karena kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi memerlukan payung hukum untuk menjerat para pelakunya.
Namun sayang, Permendikbudristek tersebut tidak didasari dengan keunggulan akademik (academic excellency), malah sebaliknya terjadi kebuntuan logika (logical impassed). Kebuntuan logika dalam Permendikbudristek tersebut terlihat dari penyusunan logika pada beberapa ayat, khususnya ayat 5 huruf b,f,g,l dan M juga pada ayat lainnya.
Di dalam hukum ada istilah konstruksi hukum (Suroso;2011) yang menggunakan logika berpikir diantaranya pertama, Argumentum per analogian (analogi) maksudnya peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang. Kedua, Argumentum a Contrario, yaitu menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada logika yang berlawanan. Tujuannya ialah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan.
Penulis ingin melihat Permendikbudristek dengan menggunakan konstruksi hukum Argumentum per analogian dan Argumentum a Contrario. Dalam Argumentum per analogian KUHP Pasal 284 adalah contoh yang paling baik. Pasal 284 ayat (1) dan (2) berbunyi: 1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak.
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. seorang wanita yang telah kawin turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin
Dalam bahasa yang sederhana, jika seorang laki-laki yang sudah mempunyai Istri dan seorang Perempuan yang sudah mempunyai suami melakukan hubungan badan, dapat dipenjara selama 9 bulan, karena keduanya telah melakukan tindak pidana berupa perzinahan. Hal ini disebabkan laki-laki sudah mempunyai istri dan begitu juga sebaliknya perempuan sudah punya suami, sehingga masuk kategori zina. Dari Pasal 284 jika menggunakan Argumentum a Contrario muncul pemahaman bahwa selain suami dan istri berhubungan badan tidak terkena Pasal 284 dalam KUHP tersebut.
Misalnya, bagi pasangan yang tidak terikat perkawinan seperti Pemuda dan Pemudi atau Janda dan Duda melakukan hubungan badan, tidak dapat dikategorikan melakukan tindak pidana yang harus dihukum 9 bulan penjara, karena Pemuda dan Pemudi atau Janda dan Duda tidak terikat oleh tali pernikahan atau perkawinan.
Hukum KUHP peninggalan Belanda inilah yang selama ini digunakan di negara yang kita cintai yang mayoritas berpenduduknya beragama Islam. Implikasi dari logika hukum yang ada, maka sulit bagi penegak hukum dan juga masyarakat untuk memberantas seks bebas yang menimpa generasi penerus bangsa ini.
Pendekatan Argumentum per analogian dapat dijadikan analogi yang tak jauh berbeda dengan Permendikbudristek nomor 30 Tahun 2021. Dalam Permendikbudristek Pasal 5 ayat (2) huruf b,f,g,h,l, dan m yang merupakan inti dari Permendikbudristek tersebut, dinyatakan berbagai tindakan seksual akan dianggap pelanggaran jika tidak ada persetujuan dari korban. Argumentum a Contrario kalau ada persetujuan dari korban, bukan lagi pelanggaran. Hal ini bisa dikatakan bahwa seks bebas terjadi di lingkungan kampus di antara kalangan civitas akademika itu merupakan sesuatu yang LEGAL selama tidak ada korban, karena mendapat persetujuan korban.
Tak hanya itu, yang sangat ironis adalah Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 merupakan duplikasi dari draf RUU PKS yang lama. Ketentuan Umum Permendikbudristek Pasal 1, ayat (1) duplikasi dan modifikasi dari Ketentuan Umum RUU PKS yang lama Pasal 1, ayat (1). Demikian juga dengan Permendikbuddikti Pasal (5) memodifikasi redaksi dari RUU PKS yang lama Pasal 6, 7, 8 dan 10, namun dengan semangat yang sama yaitu harus ada persetujuan korban.
Bertitik tolak dari pemaparan di atas, maka tak berlebihan hampir semua Ormas islam, seperti PERSIS, Muhamadiyyah, Hidayatullah dll. melakukan penolakan. MUI bahkan melakukan penolakan melalui Ijtima’ Ulama (9-11 Nopember 2021) yang baru saja dilaksanakan.
Sebagai solusi terhadap persoalan tersebut di atas, penulis menawarkan solusi penyelesaian, pertama, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi harus merevisi Permen tersebut dengan menghapus frasa ‘atas persetujuan korban’, sehingga tidak berlaku Argumentum a Contrario. Kedua, mencabut Permendikbudristek tersebut karena telah menimbulkan keresahan dan misinterpretasi di kalangan masyarakat.
Wallahu’alam